Legenda Suster Maria

    By Ki badai Gonggong

    Legenda Suster Maria cover image

    29 Nov, 2024

    Marie van Veenen memandang keluar jendela rumah di dekat jembatan gantung, merasakan ketegangan yang merayap di udara.

    Tentara Belanda dan Jepang saling berhadapan, sementara warga sipil, termasuk Marie, terjebak di tengah kekacauan. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" bisiknya kepada keluarganya yang berkumpul di ruang tamu.

    Marie berlari bersama beberapa orang lainnya, mencoba mencari perlindungan dari kejaran tentara Jepang. Mereka bersembunyi di balik pepohonan, berharap bisa lolos dari nasib yang menanti.

    Namun, suara langkah kaki mendekat, dan ketakutan hampir melumpuhkan mereka. "Kita harus terus bergerak," katanya, berusaha tetap tenang di tengah ketegangan.

    Di dalam rumah, perlawanan terakhir dari orang-orang Belanda terjadi. Marie ikut serta dalam upaya putus asa mempertahankan diri.

    Teriakan dan suara tembakan memenuhi udara, namun mereka kalah jumlah dan persenjataan. "Jangan menyerah!" teriak salah satu rekan Marie, namun mereka tahu akhir sudah dekat.

    Marie dan beberapa yang selamat tiba di jembatan, tetapi tentara Jepang sudah menunggu di sisi lain. Mereka terperangkap, tidak ada jalan keluar.

    Dalam ketegangan yang memuncak, Marie merasakan ketakutan dan keberanian dalam waktu yang sama. "Ini akhir kita," pikirnya, memandang ke arah air yang berkilauan jauh di bawah.

    Satu per satu, Jepang menangkap dan membunuh mereka. Marie jatuh ke dalam pelukan kematian, tetapi bukan akhir dari kisahnya.

    Sejak hari itu, jembatan gantung menjadi tempat yang dikenal dengan keangkerannya, dan Suster Maria menjadi legenda urban yang menolak dilupakan.

    Suster Maria muncul di jembatan, bukan untuk menakuti, tetapi untuk menyampaikan pesan damai. Dia mengingatkan para pengunjung tentang pentingnya mengakhiri siklus kebencian dan balas dendam.

    Keberadaannya menjadi pengingat akan masa lalu yang kelam dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. "Biarkan kita tidak mengulangi kesalahan yang sama," bisiknya pada angin malam yang dingin.

    Marie van Veenen memandang keluar jendela rumah di dekat jembatan gantung, merasakan ketegangan yang merayap di udara. Tentara Belanda dan Jepang saling berhadapan, sementara warga sipil, termasuk Marie, terjebak di tengah kekacauan. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" bisiknya kepada keluarganya yang berkumpul di ruang tamu.
    Marie berlari bersama beberapa orang lainnya, mencoba mencari perlindungan dari kejaran tentara Jepang. Mereka bersembunyi di balik pepohonan, berharap bisa lolos dari nasib yang menanti. Namun, suara langkah kaki mendekat, dan ketakutan hampir melumpuhkan mereka. "Kita harus terus bergerak," katanya, berusaha tetap tenang di tengah ketegangan.
    Di dalam rumah, perlawanan terakhir dari orang-orang Belanda terjadi. Marie ikut serta dalam upaya putus asa mempertahankan diri. Teriakan dan suara tembakan memenuhi udara, namun mereka kalah jumlah dan persenjataan. "Jangan menyerah!" teriak salah satu rekan Marie, namun mereka tahu akhir sudah dekat.
    Marie dan beberapa yang selamat tiba di jembatan, tetapi tentara Jepang sudah menunggu di sisi lain. Mereka terperangkap, tidak ada jalan keluar. Dalam ketegangan yang memuncak, Marie merasakan ketakutan dan keberanian dalam waktu yang sama. "Ini akhir kita," pikirnya, memandang ke arah air yang berkilauan jauh di bawah.
    Satu per satu, Jepang menangkap dan membunuh mereka. Marie jatuh ke dalam pelukan kematian, tetapi bukan akhir dari kisahnya. Sejak hari itu, jembatan gantung menjadi tempat yang dikenal dengan keangkerannya, dan Suster Maria menjadi legenda urban yang menolak dilupakan.
    Suster Maria muncul di jembatan, bukan untuk menakuti, tetapi untuk menyampaikan pesan damai. Dia mengingatkan para pengunjung tentang pentingnya mengakhiri siklus kebencian dan balas dendam. Keberadaannya menjadi pengingat akan masa lalu yang kelam dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. "Biarkan kita tidak mengulangi kesalahan yang sama," bisiknya pada angin malam yang dingin.

    You Might Also Like