Malin adalah seorang pemuda yang tumbuh di desa ini, dikenal oleh penduduk setempat karena ketekunannya. Ibunya, Ibu Malin, adalah wanita sederhana yang bekerja keras untuk menghidupi mereka. "Malin, ingatlah selalu asal usulmu, tak peduli seberapa sukses kamu nanti," katanya sembari menyiapkan sarapan.
Malin memutuskan untuk merantau demi mengejar impiannya menjadi pedagang sukses. "Jaga dirimu baik-baik, Nak," Ibu Malin berpesan dengan mata yang berkaca-kaca saat Malin menaiki perahu. "Aku akan kembali dengan kesuksesan, Ibu," jawabnya penuh semangat.
Malin berhasil meraih kesuksesan sebagai pedagang. Ia kini dikenal dan dihormati, dengan kekayaan yang melimpah. Namun, seiring dengan harta yang ia kumpulkan, ia mulai melupakan akar dan janjinya. "Ini adalah hidup yang selalu kudambakan," katanya pada dirinya sendiri, dikelilingi oleh kemewahan.
Saat tiba kembali di kampung halamannya, Malin disambut oleh Ibu Malin yang penuh harap. Namun, kesombongan menguasai dirinya, dan ia menolak mengakui ibunya yang berpakaian sederhana. "Mengapa kau tak mengenaliku, Nak?" tanya Ibu Malin dengan hati yang hancur.
Karena kesombongan dan pengkhianatannya, Malin dikutuk oleh ibunya. Tanah di bawah kakinya bergetar, dan perlahan-lahan tubuhnya mulai mengeras menjadi batu. "Maafkan aku, Ibu! Aku menyesal!" teriaknya dalam putus asa, namun sudah terlambat.
Ibu Malin duduk di tepi pantai, menatap batu yang kini adalah anaknya. Ia berbisik lembut, "Kasih sayang ibu tidak akan pudar, meskipun kau telah menjadi batu." Kisah Malin Kundang menyebar di seluruh desa, menjadi peringatan bagi generasi berikutnya tentang pentingnya menghormati dan menghargai orang tua.