Suara burung camar melengking di udara, sementara nelayan-nelayan mulai menggulung jaring mereka. Di antara rumah-rumah kayu sederhana yang berjejer rapi, tampak seorang perempuan tua, Ibunda Malin Kundang, tengah duduk di beranda, menatap lautan dengan mata penuh harap. Pagi itu, ia menanti anak semata wayangnya, Malin Kundang, yang sejak kecil terkenal cerdas dan rajin.
Malin Kundang, remaja bertubuh tegap dengan mata penuh cita-cita, berpamitan kepada ibunya. "Malin, ingatlah selalu asal usulmu. Jangan pernah lupakan Ibu, Nak," suara Ibunda Malin Kundang bergetar. "Ibu, Malin janji akan kembali dengan kesuksesan. Doakan Malin, Bu," balas Malin Kundang, memeluk ibunya erat sebelum naik ke kapal dagang yang membawanya merantau.
Bertahun-tahun berlalu, Malin Kundang tumbuh menjadi saudagar kaya raya. Ia mengenakan pakaian mewah dan selalu dikelilingi oleh para pekerja. Di sisinya, ada seorang wanita anggun, Istri Malin, putri seorang bangsawan kota. "Kekasihku, kau benar-benar berbeda dari orang-orang kampung," pujinya kepada Malin Kundang.
Ibunda Malin Kundang mendengar kabar bahwa anaknya kembali. Dengan langkah tertatih, ia bergegas ke pantai, mengabaikan kerumunan yang bersorak. Malin Kundang, kini berdiri gagah di atas dek kapal, memandang desa masa kecilnya dengan perasaan campur aduk.
Ibunda Malin Kundang[/@ch_1] mendekati anaknya sambil menangis.]
"Malin, anakku! Kau benar-benar telah kembali!" Ia memeluk Malin Kundang, tapi Malin Kundang menyingkirkan tangan ibunya dengan raut malu. Istri Malin memandang heran. "Aku tidak kenal perempuan miskin ini. Jangan buat malu di depan istriku!" ujar Malin Kundang dengan suara keras, membuat ibunya terisak.
Ibunda Malin Kundang berlutut di pasir, air mata bercampur air hujan. "Ya Tuhan, jika benar dia anakku dan telah durhaka, hukumlah dia," doanya lirih namun penuh kepedihan. Kilat menyambar kapal Malin Kundang, guntur menggelegar, dan tubuh Malin Kundang perlahan berubah menjadi batu di hadapan semua orang.
Penduduk desa mengenang kisah Malin Kundang sebagai pelajaran agar selalu menghormati orang tua. Ibunda Malin Kundang sering terlihat duduk di dekat batu itu, memandang laut dengan tatapan kosong, sementara suara angin membawa bisikan penyesalan yang abadi.