Loading Your Video

    Empat sahabat, Raka yang pemberani, Mira si penulis muda, Doni sang fotografer, dan Sari yang berjiwa lembut, menapak pelan di jalur pendakian. Aroma tanah basah bercampur dedaunan jatuh mengiringi langkah mereka. Di kejauhan, awan tebal menutupi puncak gunung, seolah menyembunyikan rahasia yang tak ingin terungkap.
    Mereka beristirahat sembari mendengarkan kisah dari penjaga pondok, Pak Umar, seorang pria sepuh berwajah teduh. "Konon, di puncak Kerinci tinggal makhluk penjaga yang tak pernah memperlihatkan diri pada manusia biasa. Namun, mereka yang berniat buruk tak akan pernah kembali," ucapnya dengan suara bergetar. "Apa Bapak pernah melihat sesuatu yang aneh di sini?" tanya Mira, matanya berbinar penasaran.
    Saat malam menjelang, Doni menangkap siluet samar di balik pepohonan lewat lensa kameranya. "Kalian lihat itu? Ada yang bergerak di sana!" bisiknya, membuat yang lain menoleh waspada. Angin tiba-tiba berhembus kencang, menggoyangkan ranting dan membuat perkemahan kecil mereka terasa mencekam.
    Raka membungkuk memeriksa jejak yang lebih besar dari kaki manusia. "Jejak ini tidak seperti binatang yang pernah kulihat," gumamnya serius. Sari menggenggam tangannya, menahan rasa takut yang mulai merayap.
    Keempat sahabat itu berdiri terpaku di depan patung, merasakan hawa hangat yang aneh di tengah udara dingin pegunungan. Tiba-tiba, seberkas cahaya muncul dari balik patung, mengungkapkan lorong kecil menuju ruang rahasia. "Ini... seperti pintu ke dunia lain," bisik Mira dengan napas tercekat.
    Di ujung lorong, mereka menemukan kotak kayu tua berukir. Saat dibuka perlahan, cahaya keemasan menyemburat, memperlihatkan naskah kuno bertuliskan ramalan dan peringatan. "Misteri Kerinci bukan hanya soal makhluk gaib... tapi tentang menjaga keseimbangan alam," ujar Raka, membaca pesan itu dengan suara bergetar. Empat sahabat itu pun pulang, membawa kisah dan pelajaran tentang rahasia yang tersembunyi di balik keindahan Gunung Kerinci.